JAKARTA, KOMPAS.com - Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua hanya dalam hitungan hari.
Dalam perjalanannya, terungkap beberapa modus dugaan politisasi guru di dalamnya
yang dilakukan oleh birokrasi pendidikan.
Ketua Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ),
Retno Listyarti menyampaikan, beberapa modus
politisasi guru dalam Pilkada DKI Jakarta adalah sebagai berikut:
Pertama, baliho yang dibuat
beberapa sekolah dan berisi ucapan terima kasih kepada Gubernur DKI Jakarta
saat ini atas diluncurkannya program wajib belajar 12 tahun yang biaya
pembuatannya berasal dari kas sekolah.
"Tindakan ini berasal dari
inisiatif kepala sekolah atas perintah Kepala Dinas Pendidikan DKI
Jakarta," kata Retno, saat menggelar deklarasi guru menolak politisasi
guru dalam Pilkada DKI, di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta,
Selasa (18/9/2012).
Kedua, sebuah sekolah, yakni
SMKN 57 Pasar Minggu, yang memberikan uang transport kepada guru yang
berdomisili di luar Jakarta tetapi memiliki hak memberikan suara pada Pilkada
DKI Jakarta. Insentif gelap itu berasal dari kocek pribadi kepala sekolah yang
nominalnya berkisar antara Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu.
"Itu dilakukan wakil kepala sekolah
berdasarkan perintah kepala sekolah untuk mencari guru yang dimaksud,"
ungkap Retno.
Sekretaris Jenderal Federasi
Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini menambahkan, pada 8 September 2012 ada
kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (MGMP PKn)
di SMPN 85 Jakarta Selatan. Dalam kegiatan yang dihadiri oleh seluruh guru PKn
SMP se-Jakarta Selatan itu, Ketua MGMP berkesempatan membuka kegiatan dan
disusul dengan pengarahan dari Sekretaris Musyawarah Kepala-Kepala Sekolah
(MKKS), Tajudin. Dalam pertemuan itu, pokok pengarahannya difokuskan untuk
memilih salah satu calon Gubernur DKI Jakarta karena telah berjasa atas
kepentingan komunitas guru.
Lebih jauh, para guru juga
diminta membuat soal tertulis untuk tugas terstruktur. Di mana para siswa-siswi
nantinya diharuskan mewawancarai orangtuanya untuk mengisi tugas tersebut.
"Ini jelas terstruktur dan masif. Arahnya
untuk memetakan jumlah suara salah satu calon," ujar Retno.
Pada kesempatan yang sama,
seorang guru honorer sebuah SMP Negeri di Jakarta Utara, Erna menyampaikan,
pada 2 September 2012 lalu ada pertemuan seluruh tenaga pendidik honorer di
Gelanggang Olahraga Ragunan. Dalam acara itu, semua peserta diarahkan untuk
memilih salah satu calon tertentu pada Pilkada DKI putaran kedua.
"Iya itu benar, kami honorer se-Jakarta
hadir dan ada instruksi itu," ungkapnya.
Merujuk pada data FMGJ,
modus-modus serupa masih banyak terjadi. Umumnya diselubungkan dalam berbagai
kegiatan. Seperti halal-bihalal, musyawarah guru, ceramah guru sampai pada
ceramah keagamaan di masjid-masjid sekolah.
Sumber: kompas.com