JAKARTA,
KOMPAS.com - Uji kompetensi guru (UKG) yang digelar Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan memasuki hari kelima, Jumat (3/8/2011). Sejak hari pertama
pelaksanaan, 30 Juli 2012, hingga kemarin, uji kompetensi banyak menguji
kesabaran para guru. Banyak yang justru tidak jadi teruji kompetensinya. Apa
sebab?
Ya, sejak
hari pertama hingga kemarin, kegagalan pelaksanaan UKG masih terus terjadi.
Persoalan utama adalah tidak "joss"-nya koneksi internet. Padahal,
uji ini dilakukan secara online. Alhasil, para guru yang sudah belajar
"bermalam-malam suntuk" pun gigit jari. Selain persoalan koneksi,
data guru yang terekam pun tidak valid sehingga membuat sistem tidak bekerja.
Idealnya,
seperti selalu dilontarkan Kemdikbud, hasil UKG akan digunakan sebagai pemetaan
dan menjadi data awal pembinaan kompetensi guru.Tetapi, potret di lapangan
bercerita lain.
Tidak siap?
Sebelum
hari H pelaksanaan, uji kompetensi memang telah mengundang kontroversi. Sebut
saja sejumlah "keanehan" yang sebenarnya bisa dikatakan menunjukkan
bahwa Kemdikbud belum siap menggelar ujian bagi lebih dari sejuta guru
bersertifikat.
Pertama,
dari sisi waktu pelaksanaan. Banyak masukan diberikan kepada Kemdikbud agar
tidak tergesa-gesa menggelar uji kompetensi. Apalagi, sosialisasi masih minum
dan diadakan pada bulan Ramadhan.
Ketua
Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo bahkan
mengirimkan surat kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh. Dalam surat
itu, Sulistiyo meminta pelaksanaan UKG
mulai digelar sekitar Oktober 2012. Alasannya, memberikan waktu yang lebih
panjang bagi guru untuk mempersiapkan diri dan memberi ruang sosialisasi. Khususnya,
kepada guru-guru yang menjalani uji kompetensi di daerah pelosok.
"Saya
sempat usul agar UKG dilaksanakan Oktober. Entah mengapa jadi tergesa-gesa.
Persiapan minim yang akhirnya gagal, dan seperti merendahkan guru," kata
Sulistiyo.
Kritik
tergesa-gesa ini sempat dibantah oleh M Nuh. Seusai menghelat rapat kabinet
bersama Presiden SBY di Gedung Kemdikbud, tepat di hari kedua UKG, Nuh
membantah bahwa uji kompetensi terkesan digelar dengan terburu-buru. Ia
mengatakan, persiapan telah dilakukan dengan matang. Persoalan yang muncul hanya
merupakan kendala teknis.
"Bukan
karena kami belum siap atau tergesa-gesa. Tapi persoalan teknis di lapangan
menjadi kendala lain," kata Nuh, Selasa lalu.
Dasar hukum
Keanehan
lain terletak pada dasar hukum pelaksanaan UKG. Pemerintah dinilai lalai karena
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud Nomor 57/2012)
tentang pelaksanaan UKG baru terbit pada 26 Juli 2012, atau hanya empat hari
sebelum UKG mulai dilaksanakan.
Sementara,
pedoman UKG telah disebar berikut sosialisasi pelaksanaannya jauh hari sebelum
regulasinya dilahirkan. Hal inilah yang kemudian memunculkan anggapan bahwa UKG
hanya proyek coba-coba, dipaksakan saat persiapan belum matang.
"Buku
pedoman sudah disebar dan sosialisasi dilakukan jauh sebelum aturannya terbit.
Lantas dasar hukum proses sosialisasi itu apa? Ini indikasi bahwa UKG digelar
buru-buru tanpa perencanaan," ujar pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Jakarta, Edy Halomoan Gurning dalam jumpa pers UKG di Jakarta, Rabu
(1/8/2012).
Soal ujian
"salah alamat"
Keprihatinan
lain adalah kacaunya soal ujian. Tak sedikit guru peserta UKG mengeluhkan
melencengnya substansi soal dengan kompetensi yang diujikan. Belum lagi
kelengkapan soal bergambar yang tersaji dengan buruk, dan soal ujian yang tidak
dilengkapi dengan pilihan jawaban.
Sekretaris
Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listiyarti menganggap
kelemahan pada soal sebagai bentuk penghinaan pemerintah terhadap guru.
Pihaknya telah menerima laporan dari 17 daerah jaringan FSGI.
"Menguji
guru dengan soal-soal begitu, sama dengan menghina. Tapi akhirnya guru juga
yang disalahkan," kata Retno.
Anggaran
Demikian
pula soal anggaran. Sejumlah informasi terkait rupiah yang digelontorkan untuk
membiayai pelaksanaan UKG berbeda-beda. Kemdikbud, saat ditanya, tak mau
terbuka berapa besar dana yang dikeluarkan.
Anggota
Komisi X DPR, Dedi Gumelar menyampaikan bahwa anggaran UKG tidak disampaikan
secara rinci kepada DPR. Hal itu membuat pengesahannya tak didahului dengan
perdebatan panjang.
Ia
mengungkapkan, UKG menyedot kas negara sekitar Rp 300 miliar, dengan unit cost
setiap peserta hampir mencapai Rp 200 ribu.
Akan
tetapi, menurut Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan
Penjaminan Mutu Pendidik (Kepala BPSDMP-PMP) Kemdikbud Syawal Gultom, unit cost
per guru yang mengikuti uji kompetensi ini hanya Rp 50 ribu. Entahlah, mana
yang benar.
Sejumlah
wartawan pernah meminta pejabat terkait untuk menjelaskan proporsi anggaran
ujian itu. Akan tetapi tidak pernah ditanggapi secara serius.
Salah
siapa?
Bukan
mencari kambing hitam. Tetapi, sebuah gelaran besar di dunia pendidikan yang
didanai dengan uang negara ini harus dapat dipertanggungjawabkan.
Pelaksanaannya yang diwarnai sejumlah persoalan harus memberikan jawaban, apa
yang menyebabkannya bisa terjadi.
Menanggapi
sejumlah persoalan, Kemdikbud seakan lepas tangan. Melepas sumber salah kepada
para guru. Data yang tidak valid dianggap terjadi karena kesalahan guru yang
melakukan perubahan tanpa konfirmasi.
Semua guru
yang gagal mengikuti UKG gelombang pertama juga di-reschedule seenaknya, tanpa
memperhitungkan kesiapan guru dari segi waktu, biaya transport yang
dikeluarkan, hingga waktu belajar siswa yang dikorbankan.
Dengan segala persoalan yang ada, Kemdikbud
pun belum mengakui kekurangannya. Berulang kali Mendikbud Mohammad Nuh
mengklaim bahwa UKG dilaksanakan dengan persiapan matang. Kenyataannya,
berbanding terbalik saat eksekusinya.