JAKARTA, — Percepatan penyelenggaraan ujian nasional (UN) SMP/SMA/SMK sederajat dari biasanya April menjadi Maret 2010 membuat panik sebagian murid dan guru. Hal ini disebabkan pemberitahuan soal percepatan ujian nasional dinilai sangat mendadak.
Percepatan UN ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 yang ditandatangani Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada 13 Oktober 2009, atau sepekan sebelum masa tugas Kabinet Indonesia Bersatu I berakhir. Selain dinilai mendadak, sosialisasi peraturan tersebut juga tidak optimal. Akibatnya, banyak guru dan kepala sekolah yang mengetahui adanya percepatan UN tersebut pada November, menjelang tes akhir semester ganjil.
"Percepatan ujian nasional tersebut memang sekitar satu bulan, tetapi program pengajaran yang sudah disusun menjadi kacau. Semestinya, evaluasi memang diserahkan kepada guru yang lebih mengetahui kondisi siswa," kata Suparman, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Federasi Guru Independen Indonesia (FGII).
Sejumlah sekolah segera menyusun ulang materi pelajaran kepada murid agar bisa disampaikan menjelang ujian nasional pada Maret 2010. Namun, tidak mudah memadatkan materi pelajaran yang semestinya disampaikan selama satu semester.
"Kami terpaksa memberikan pelajaran tambahan di luar jam sekolah serta memadatkan materi pelajaran," kata Cucu Saputra, Kepala SMA Negeri 4 Bandung.
Sebagai contoh, materi pelajaran yang seharusnya disampaikan dalam empat kali pertemuan dipadatkan dalam satu kali pertemuan saja. Selain itu, sebanyak 350 siswa sekolah tersebut yang akan mengikuti ujian nasional setiap Sabtu selama delapan jam dibekali penguatan pada enam mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional.
Di SMA Negeri 66 Jakarta, sepekan tiga kali, siswa mendapatkan tambahan pelajaran 1,5 jam seusai pulang sekolah untuk persiapan UN. Langkah yang sama dilakukan sejumlah sekolah di Yogyakarta, Surabaya, dan Bandung. Sejumlah guru di Yogyakarta dan Surabaya mengatakan, materi pelajaran yang seharusnya selesai Maret dipadatkan dan harus selesai Februari 2010.
Selain itu, siswa juga dilatih mengerjakan soal-soal UN berdasarkan soal tahun lalu dan kisi-kisi yang diberikan untuk UN 2010. Sejumlah sekolah lainnya memilih menggandeng pengelola bimbingan belajar untuk latihan mengerjakan soal sepekan tiga kali. Selain itu, beberapa siswa lainnya ikut bimbingan belajar di luar jam sekolah.
Jangan saling ”veto”
Sejumlah praktisi, pengamat pendidikan, dan anggota DPR mengatakan, semestinya penilaian UN jangan saling ”veto”. Dalam kriteria kelulusan siswa, ada empat hal yang dipertimbangkan. Pertama, menyelesaikan semua program pendidikan di sekolah; kedua, persyaratan akhlak, budi pekerti, dan tata krama; ketiga, lulus mata ujian di sekolah; dan keempat, lulus ujian nasional.
"Kalaupun UN lulus, tetapi anaknya nakal di luar batas kewajaran, tetap saja tidak lulus," kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh.
Meski demikian, sejumlah anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR menilai empat syarat kelulusan siswa mestinya tidak saling memveto. Anggota Fraksi PDI-P tersebut, Dedy S Gumelar, Puti Guntur Soekarno Putri, dan Utut Adianto, menilai penentuan kelulusan siswa mesti dinilai dengan mengombinasikan keempat syarat tersebut dengan pembobotan dan tidak saling memveto.
"Selama standardisasi pendidikan secara nasional belum tercapai, kami menolak hasil UN sebagai penentu kelulusan. Mestinya evaluasi kelulusan siswa itu bisa dilakukan seperti pelaksanaan ujian akhir sekolah berstandar nasional, seperti di SD," kata Dedy ”Miing”.
Kembalikan kepada guru
Ade Irawan dari Koalisi Pendidikan mengatakan, proses penentuan kelulusan peserta didik sepenuhnya mesti dikembalikan kepada pendidik karena para guru itulah yang paling mengetahui kemampuan peserta didik.
"Persoalan UN bukan cuma kecurangan, melainkan juga merampas hak anak serta mereduksi makna pendidikan menjadi menilai skor ujian," kata Ade.
Sementara itu, Suparman menilai, dua opsi yang ditawarkan Presiden untuk menyempurnakan UN itu lebih baik digabung. UN tetap jalan, tetapi penilaian kelulusannya menggunakan model pada masa Ebtanas yang mengakomodasi semua proses penilaian pembelajaran. Selain itu, UN ulangan bagi siswa yang belum berhasil lulus tetap dilaksanakan.
"Cara seperti itu akan lebih berperspektif anak, lebih pedagogis, dan adil. Perubahan kebijakan itu membutuhkan keinginan baik yang kuat dari pemerintah," ujar Suparman.
Deni Wahyudi, Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, mengatakan, mesti ada langkah maju dari pemerintah untuk menyelesaikan polemik soal UN. Keinginan Presiden untuk tidak menjadikan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan harus bisa dibuktikan supaya ada perbaikan dalam pendidikan.
"Kita perlu mencari model evaluasi belajar yang lebih adil bagi pelajar," kata Deni.
Sumber: kompas.com
Percepatan UN ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 yang ditandatangani Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada 13 Oktober 2009, atau sepekan sebelum masa tugas Kabinet Indonesia Bersatu I berakhir. Selain dinilai mendadak, sosialisasi peraturan tersebut juga tidak optimal. Akibatnya, banyak guru dan kepala sekolah yang mengetahui adanya percepatan UN tersebut pada November, menjelang tes akhir semester ganjil.
"Percepatan ujian nasional tersebut memang sekitar satu bulan, tetapi program pengajaran yang sudah disusun menjadi kacau. Semestinya, evaluasi memang diserahkan kepada guru yang lebih mengetahui kondisi siswa," kata Suparman, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Federasi Guru Independen Indonesia (FGII).
Sejumlah sekolah segera menyusun ulang materi pelajaran kepada murid agar bisa disampaikan menjelang ujian nasional pada Maret 2010. Namun, tidak mudah memadatkan materi pelajaran yang semestinya disampaikan selama satu semester.
"Kami terpaksa memberikan pelajaran tambahan di luar jam sekolah serta memadatkan materi pelajaran," kata Cucu Saputra, Kepala SMA Negeri 4 Bandung.
Sebagai contoh, materi pelajaran yang seharusnya disampaikan dalam empat kali pertemuan dipadatkan dalam satu kali pertemuan saja. Selain itu, sebanyak 350 siswa sekolah tersebut yang akan mengikuti ujian nasional setiap Sabtu selama delapan jam dibekali penguatan pada enam mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional.
Di SMA Negeri 66 Jakarta, sepekan tiga kali, siswa mendapatkan tambahan pelajaran 1,5 jam seusai pulang sekolah untuk persiapan UN. Langkah yang sama dilakukan sejumlah sekolah di Yogyakarta, Surabaya, dan Bandung. Sejumlah guru di Yogyakarta dan Surabaya mengatakan, materi pelajaran yang seharusnya selesai Maret dipadatkan dan harus selesai Februari 2010.
Selain itu, siswa juga dilatih mengerjakan soal-soal UN berdasarkan soal tahun lalu dan kisi-kisi yang diberikan untuk UN 2010. Sejumlah sekolah lainnya memilih menggandeng pengelola bimbingan belajar untuk latihan mengerjakan soal sepekan tiga kali. Selain itu, beberapa siswa lainnya ikut bimbingan belajar di luar jam sekolah.
Jangan saling ”veto”
Sejumlah praktisi, pengamat pendidikan, dan anggota DPR mengatakan, semestinya penilaian UN jangan saling ”veto”. Dalam kriteria kelulusan siswa, ada empat hal yang dipertimbangkan. Pertama, menyelesaikan semua program pendidikan di sekolah; kedua, persyaratan akhlak, budi pekerti, dan tata krama; ketiga, lulus mata ujian di sekolah; dan keempat, lulus ujian nasional.
"Kalaupun UN lulus, tetapi anaknya nakal di luar batas kewajaran, tetap saja tidak lulus," kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh.
Meski demikian, sejumlah anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR menilai empat syarat kelulusan siswa mestinya tidak saling memveto. Anggota Fraksi PDI-P tersebut, Dedy S Gumelar, Puti Guntur Soekarno Putri, dan Utut Adianto, menilai penentuan kelulusan siswa mesti dinilai dengan mengombinasikan keempat syarat tersebut dengan pembobotan dan tidak saling memveto.
"Selama standardisasi pendidikan secara nasional belum tercapai, kami menolak hasil UN sebagai penentu kelulusan. Mestinya evaluasi kelulusan siswa itu bisa dilakukan seperti pelaksanaan ujian akhir sekolah berstandar nasional, seperti di SD," kata Dedy ”Miing”.
Kembalikan kepada guru
Ade Irawan dari Koalisi Pendidikan mengatakan, proses penentuan kelulusan peserta didik sepenuhnya mesti dikembalikan kepada pendidik karena para guru itulah yang paling mengetahui kemampuan peserta didik.
"Persoalan UN bukan cuma kecurangan, melainkan juga merampas hak anak serta mereduksi makna pendidikan menjadi menilai skor ujian," kata Ade.
Sementara itu, Suparman menilai, dua opsi yang ditawarkan Presiden untuk menyempurnakan UN itu lebih baik digabung. UN tetap jalan, tetapi penilaian kelulusannya menggunakan model pada masa Ebtanas yang mengakomodasi semua proses penilaian pembelajaran. Selain itu, UN ulangan bagi siswa yang belum berhasil lulus tetap dilaksanakan.
"Cara seperti itu akan lebih berperspektif anak, lebih pedagogis, dan adil. Perubahan kebijakan itu membutuhkan keinginan baik yang kuat dari pemerintah," ujar Suparman.
Deni Wahyudi, Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, mengatakan, mesti ada langkah maju dari pemerintah untuk menyelesaikan polemik soal UN. Keinginan Presiden untuk tidak menjadikan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan harus bisa dibuktikan supaya ada perbaikan dalam pendidikan.
"Kita perlu mencari model evaluasi belajar yang lebih adil bagi pelajar," kata Deni.
Sumber: kompas.com