JAKARTA, - Masalah makro dalam pengelolaan dana pendidikan di sekolah adalah belum adanya aturan umum pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS).
Saat ini banyak sekolah tidak memiliki APBS, karena selama ini APBS malah justeru dibuat secara sepihak oleh kepala sekolah atau Dinas Pendidikan (Disdik). Demikian hal itu diungkapkan oleh Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan di Jakarta, Rabu (23/12/2009).
Menurut Ade, masalah APBS tersebut tidak hanya terjadi pada satu atau dua sekolah, tetapi umumnya semua sekolah begitu. Rata-rata sekolah, kata Ade, terbukti hanya membuat APBS secara copy paste dari APBS-APBS sebelumnya.
"Jadi, APBS itu umumnya sekarang cuma bicara uang, tidak mencerminkan kebutuhan sekolah atau menjawab apapun kebutuhan siswa, guru, serta orang tua murid, padahal sejatinya itulah hakikat sekolah," ujarnya.
Ade menuturkan, sepihaknya pembuatan APBS oleh kepala sekolah dan Disdik itu memang bukan kesalahan mereka (kepala sekolah dan Disdik), tetapi kesalahan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Karena, kata Ade, Depdiknas yang seharusnya membuat aturan tersebut.
"Yang tahu betul kebutuhan pendidikan di sekolah itu guru, siswa, dan orang tua murid, sehingga mereka perlu dilibatkan dalam perencanaan dana pendidikan di sekolah. Setelah itu, baru kemudian mereka mengajukan rencana itu ke kepala sekolah dan diteruskan ke Disdik. Selama ini, yang ada adalah sekolah cuma manut saja rencana anggaran seperti apa," ujarnya.
Ade menambahkan, hakikat sekolah adalah menjawab segala kebutuhan siswa, guru dan orang tua murid. Bahwa, siswa berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan orang tua puas dan lega karena mengeluarkan dana pendidikan, sebaliknya guru wajib memberikan pengajaran dengan semestinya sesuai kebutuhan siswa. Hanya, syaratnya, segala kebutuhannya terpenuhi dengan baik.
Saat ini banyak sekolah tidak memiliki APBS, karena selama ini APBS malah justeru dibuat secara sepihak oleh kepala sekolah atau Dinas Pendidikan (Disdik). Demikian hal itu diungkapkan oleh Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan di Jakarta, Rabu (23/12/2009).
Menurut Ade, masalah APBS tersebut tidak hanya terjadi pada satu atau dua sekolah, tetapi umumnya semua sekolah begitu. Rata-rata sekolah, kata Ade, terbukti hanya membuat APBS secara copy paste dari APBS-APBS sebelumnya.
"Jadi, APBS itu umumnya sekarang cuma bicara uang, tidak mencerminkan kebutuhan sekolah atau menjawab apapun kebutuhan siswa, guru, serta orang tua murid, padahal sejatinya itulah hakikat sekolah," ujarnya.
Ade menuturkan, sepihaknya pembuatan APBS oleh kepala sekolah dan Disdik itu memang bukan kesalahan mereka (kepala sekolah dan Disdik), tetapi kesalahan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Karena, kata Ade, Depdiknas yang seharusnya membuat aturan tersebut.
"Yang tahu betul kebutuhan pendidikan di sekolah itu guru, siswa, dan orang tua murid, sehingga mereka perlu dilibatkan dalam perencanaan dana pendidikan di sekolah. Setelah itu, baru kemudian mereka mengajukan rencana itu ke kepala sekolah dan diteruskan ke Disdik. Selama ini, yang ada adalah sekolah cuma manut saja rencana anggaran seperti apa," ujarnya.
Ade menambahkan, hakikat sekolah adalah menjawab segala kebutuhan siswa, guru dan orang tua murid. Bahwa, siswa berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan orang tua puas dan lega karena mengeluarkan dana pendidikan, sebaliknya guru wajib memberikan pengajaran dengan semestinya sesuai kebutuhan siswa. Hanya, syaratnya, segala kebutuhannya terpenuhi dengan baik.
Sumber: kompas.com