JAKARTA - Gesit. Kendati tubuhnya kecil, kedua tangan bocah berusia 11 tahun itu lincah memperlihatkan kemampuannya memainkan dua tokoh wayang yang tengah berseteru, Dursala dan Gatotkaca.
Tiap keprakan (kendali musik) selalu pas. Meski nafasnya kembang kempis, bocah kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, 14 Juni 1998, itu pun lancar membawakan sulukan (melagukan tembang). Dialognya pun sesekali membuat penonton yang menyaksikannya. terpingkal-pingkal. Prak! Kedua wayang itu pun beradu, berputar seolah melayang-layang di udara, bertempur dengan kesaktiannya.
Gugurnya Dursala oleh kesaktian Gatotkaca dalam lakon "Dursala Gugur" itu menjadi kisah wayang yang dibawakan dengan apik oleh Bayu Gunawan, bocah 11 tahun itu, di hadapan penonton Festival Dalang Bocah 2009 di Gedung Pewayangan Kautaman, TMII, Jakarta, Sabtu (19/12/2009). Para penonton yang terdiri dari anak-anak Sekolah Dasar, guru, juri festival hingga orang tua murid terkagum-kagum dibuatnya.
"Aku mau jadi dalang, makanya sekarang honor mendalang aku tabung buat sekolah. Aku juga sudah punya sepeda dari honor main wayang," ujar Bayu.
Siswa kelas VI SD Inpres 014681 Kisaran, Sumatera Utara, ini mengaku sebulan sekali mendapatkan order mendalang di kitaran tempatnya tinggal. Sekali mendalang Bayu mendapat honor Rp 50 sampai Rp 100 ribu.
Sakit
Sejatinya, tidak serta-merta Bayu menjadi seorang dalang cilik yang piawai macam hari itu. Awalnya, ia hanya bocah yang suka sakit-sakitan dan susah sembuh walaupun sudah dibawa ke dokter.
"Itu waktu dia (Bayu) berumur 2 tahun. Di bawa ke dokter ke sana-kemari tidak juga sembuh. Lho, tahu-tahu, begitu saya sedang mendalang di rumah, dia malah sembuh. Sejak itu, saya selalu membawa dia tiap kali ada panggilan ndalang," ujar Sunadi Jermo Harsono, ayah Bayu, yang seorang pedalang ini.
Beruntungnya, kata Sunadi, masyarakat yang tinggal di Kelurahan Sidodadi, Kisaran, itu didominasi oleh suku Jawa. Alhasil, kemampuannya mendalang terpakai karena sering terima panggilan. Bayu pun semakin sering diajaknya menemani pentas.
Seiring itu pula, kata Sunadi, Bayu kian keranjingan dengan wayang. Sunadi lalu pelan-pelan mengajarkannya mendalang, mulai dasar-dasar sulukan (melagukan tambang), keprakan (pengendali musik), sabet (memainkan wayang), serta antawecana (membawakan dialog atau cerita).
Begitu pula, tiap kali datang sakit panas atau flu, Bayu sudah tidak perlu lagi ke dokter. Sunadi bilang, putranya itu cukup memegang-megang wayang, penyakit pun seketika hilang.
"Sampai sekarang, tiap jatuh sakit saya cuma main wayang di rumah, kadang-kadang cuma dipegang-pegang saja, nanti sembuh sendiri sakitnya," timpal Bayu.
Kini, Sunadi mengaku bisa berbangga hati, karena kemampuannya sudah menurun pada Bayu, meskipun masih perlu dilatih lagi. Apalagi, Bayu tergolong siswa yang pandai di kelas, karena sejak kelas IV ia selalu mendapatkan rangking pertama.
"Jadi, kalau minta ijin untuk berdalang sudah dibolehkan," ujar lelaki yang masih aktif mendalang di grup wayang dan karawitan Langen Rahayu, Kisaran, Sumatera Utara, ini.
Penghasilan
Bagi bocah seperti Bayu Gunawan, dalang bukan semata hobi. Jika diseriusi, dalang juga bisa mendatangkan uang saku tambahan, yang cukup membantu mengurangi beban ekonomi orang tua. Terlebih penting, menjadi dalang berarti meneruskan tongkat estafet tradisi orang tua, yang juga pendalang, serta melestarikan seni budaya bangsa.
Dwi Adi Nugroho, dalang bocah yang duduk di bangku kelas II SMP PGRI 12 Pondok Labu, Jakarta Selatan, ini misalnya. Sejak umur 3 tahun, Adi sudah melakoni kegemarannya memainkan wayang dan belajar dari ayahnya, Asman Budi Prayitno.
"Saya belajar dari Bapak yang juga dalang. Dulu, Bapak itu sering mengajak saya kalau mentas keliling Jakarta, termasuk di TMII ini," ujar Adi.
Adi bilang, di matanya wayang itu benda yang lucu dan unik. Dari hanya sekadar suka, belajar menekuni, dan kini piawai memainkannya seperti saat tampil sebagai peserta terakhir Festival Dalang Bocah 2009. Adi membawakan lakon Puntadewa Tandang (gagrak Solo).
Sayangnya, kata Adi, kemampuannya sebagai dalang selama ini lebih banyak hanya didukung oleh keluarga. Kecuali untuk ijin tidak masuk sekolah karena harus "berdinas" sebagai seorang dalang, Adi tidak mendapatkan dukungan dari sekolah seperti misalnya fasilitas atau peralatan, yang selama ini memang mengandalkan miliknya sendiri dan ayahnya.
"Katanya sekolah mau kasih beasiswa, tapi ditunggu-tunggu kok tidak ada kabarnya," ujarnya.
Toh, begitu, lanjut Adi, dirinya tidak berkecil hati. Peraih peringkat Ngabehi pada Temu Dalang Cilik Nusantara III di Solo, Juli 2009 lalu, ini mengaku sedikit-sedikit bisa menabung untuk membantu orang tuanya memenuhi kebutuhannya sendiri. Sekali mendalang, penghasilannya antara Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000.
"Sekarang saya sudah punya komputer yang saya beli sendiri dari hasil mendalang," ujarnya.
Adi berkisah, kendati suka diejek teman-temannya karena punya predikat sebagai seorang dalang, dirinya tidak pernah malu. Bahkan, Adi bertekad ingin bersekolah sampai tingkat perguruan tinggi untuk memperdalam kemampuannya mendalang.
"Saya enggak pernah malu, apalagi nanti saya mau sekolah di ISI (Institut Seni Indonesia), biar tambah pinter mendalangnya," kata dalang kelahiran 5 Oktober 1995 ini.
Muatan lokal
Setidaknya, melestarikan wayang dan pedalangan memang harus diawali lewat lingkup keluarga pedalang. Pasalnya, bukan tidak ada, tetapi dukungan untuk melestarikan wayang dan pedalangan di kalangan generasi muda selama ini masih kurang kuat.
Sanggar-sanggar seni untuk wayang tidak banyak, bahkan rata-rata kembang kempis hidupnya karena harus membiayai sendiri. Di sekolah, wayang dan dalang pun belum sepenuhnya bisa dijadikan muatan lokal yang bisa diterapkan pada anak didik.
"Saya bangga karena anak saya mau belajar mendalang dan akhirnya memang bisa, tetapi itu bukan karena bendera saya dilanjutkan, lebih dari itu anak saya akhirnya punya prinsip dalam hidupnya, punya kepribadian, dan mau meneruskan tradisi seni budaya leluhurnya," ujar Ki Sigit Toto Carito, ayah kandung dari dalang bocah perempuan bernama Monik Dwi Rahayu, siswa kelas V SD Katolik Yos Sudarso, Kalimantan Timur.
Sigit mengatakan, sudah saatnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memerhatikan dalang dan wayang sebagai muatan lokal yang bisa dijadikan sebagai pengembangan diri siswa di sekolah. Dalang-dalang bocah, yang rata-rata siswa SD dan SMP ini, sebagai penerus seni tradisi pedalangan dan wayang, pun perlu difasilitasi hobinya untuk bisa menularkan kepada teman-temannya di sekolah.
"Terus terang saya prihatin, kemampuan siswa sekarang lebih dikejar pada iptek, hanya otak kanan, tetapi otak kirinya dilupakan. Lihat saja, pelajaran-pelajaran budi pekerti semakin dibelakangi," tegas dalang yang juga guru olah raga di SD Katolik Yos Sudarso, Balikpapan, Kaltim, ini.
Sigit menambahkan, banyak nilai-nilai moral dan budi pekerti yang bisa ditanamkan pada siswa lewat wayang dan dalang. Salah satunya adalah falsafah betik ketitik olo katoro yang ada dalam karakter cerita-cerita wayang.
"Yaitu, bahwa yang baik dan jahat itu akan terlihat jelas. Nah, sekarang itu kan yang baik itu lebih banyak tidak terlihatnya," ujarnya, terbahak.
Tiap keprakan (kendali musik) selalu pas. Meski nafasnya kembang kempis, bocah kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, 14 Juni 1998, itu pun lancar membawakan sulukan (melagukan tembang). Dialognya pun sesekali membuat penonton yang menyaksikannya. terpingkal-pingkal. Prak! Kedua wayang itu pun beradu, berputar seolah melayang-layang di udara, bertempur dengan kesaktiannya.
Gugurnya Dursala oleh kesaktian Gatotkaca dalam lakon "Dursala Gugur" itu menjadi kisah wayang yang dibawakan dengan apik oleh Bayu Gunawan, bocah 11 tahun itu, di hadapan penonton Festival Dalang Bocah 2009 di Gedung Pewayangan Kautaman, TMII, Jakarta, Sabtu (19/12/2009). Para penonton yang terdiri dari anak-anak Sekolah Dasar, guru, juri festival hingga orang tua murid terkagum-kagum dibuatnya.
"Aku mau jadi dalang, makanya sekarang honor mendalang aku tabung buat sekolah. Aku juga sudah punya sepeda dari honor main wayang," ujar Bayu.
Siswa kelas VI SD Inpres 014681 Kisaran, Sumatera Utara, ini mengaku sebulan sekali mendapatkan order mendalang di kitaran tempatnya tinggal. Sekali mendalang Bayu mendapat honor Rp 50 sampai Rp 100 ribu.
Sakit
Sejatinya, tidak serta-merta Bayu menjadi seorang dalang cilik yang piawai macam hari itu. Awalnya, ia hanya bocah yang suka sakit-sakitan dan susah sembuh walaupun sudah dibawa ke dokter.
"Itu waktu dia (Bayu) berumur 2 tahun. Di bawa ke dokter ke sana-kemari tidak juga sembuh. Lho, tahu-tahu, begitu saya sedang mendalang di rumah, dia malah sembuh. Sejak itu, saya selalu membawa dia tiap kali ada panggilan ndalang," ujar Sunadi Jermo Harsono, ayah Bayu, yang seorang pedalang ini.
Beruntungnya, kata Sunadi, masyarakat yang tinggal di Kelurahan Sidodadi, Kisaran, itu didominasi oleh suku Jawa. Alhasil, kemampuannya mendalang terpakai karena sering terima panggilan. Bayu pun semakin sering diajaknya menemani pentas.
Seiring itu pula, kata Sunadi, Bayu kian keranjingan dengan wayang. Sunadi lalu pelan-pelan mengajarkannya mendalang, mulai dasar-dasar sulukan (melagukan tambang), keprakan (pengendali musik), sabet (memainkan wayang), serta antawecana (membawakan dialog atau cerita).
Begitu pula, tiap kali datang sakit panas atau flu, Bayu sudah tidak perlu lagi ke dokter. Sunadi bilang, putranya itu cukup memegang-megang wayang, penyakit pun seketika hilang.
"Sampai sekarang, tiap jatuh sakit saya cuma main wayang di rumah, kadang-kadang cuma dipegang-pegang saja, nanti sembuh sendiri sakitnya," timpal Bayu.
Kini, Sunadi mengaku bisa berbangga hati, karena kemampuannya sudah menurun pada Bayu, meskipun masih perlu dilatih lagi. Apalagi, Bayu tergolong siswa yang pandai di kelas, karena sejak kelas IV ia selalu mendapatkan rangking pertama.
"Jadi, kalau minta ijin untuk berdalang sudah dibolehkan," ujar lelaki yang masih aktif mendalang di grup wayang dan karawitan Langen Rahayu, Kisaran, Sumatera Utara, ini.
Penghasilan
Bagi bocah seperti Bayu Gunawan, dalang bukan semata hobi. Jika diseriusi, dalang juga bisa mendatangkan uang saku tambahan, yang cukup membantu mengurangi beban ekonomi orang tua. Terlebih penting, menjadi dalang berarti meneruskan tongkat estafet tradisi orang tua, yang juga pendalang, serta melestarikan seni budaya bangsa.
Dwi Adi Nugroho, dalang bocah yang duduk di bangku kelas II SMP PGRI 12 Pondok Labu, Jakarta Selatan, ini misalnya. Sejak umur 3 tahun, Adi sudah melakoni kegemarannya memainkan wayang dan belajar dari ayahnya, Asman Budi Prayitno.
"Saya belajar dari Bapak yang juga dalang. Dulu, Bapak itu sering mengajak saya kalau mentas keliling Jakarta, termasuk di TMII ini," ujar Adi.
Adi bilang, di matanya wayang itu benda yang lucu dan unik. Dari hanya sekadar suka, belajar menekuni, dan kini piawai memainkannya seperti saat tampil sebagai peserta terakhir Festival Dalang Bocah 2009. Adi membawakan lakon Puntadewa Tandang (gagrak Solo).
Sayangnya, kata Adi, kemampuannya sebagai dalang selama ini lebih banyak hanya didukung oleh keluarga. Kecuali untuk ijin tidak masuk sekolah karena harus "berdinas" sebagai seorang dalang, Adi tidak mendapatkan dukungan dari sekolah seperti misalnya fasilitas atau peralatan, yang selama ini memang mengandalkan miliknya sendiri dan ayahnya.
"Katanya sekolah mau kasih beasiswa, tapi ditunggu-tunggu kok tidak ada kabarnya," ujarnya.
Toh, begitu, lanjut Adi, dirinya tidak berkecil hati. Peraih peringkat Ngabehi pada Temu Dalang Cilik Nusantara III di Solo, Juli 2009 lalu, ini mengaku sedikit-sedikit bisa menabung untuk membantu orang tuanya memenuhi kebutuhannya sendiri. Sekali mendalang, penghasilannya antara Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000.
"Sekarang saya sudah punya komputer yang saya beli sendiri dari hasil mendalang," ujarnya.
Adi berkisah, kendati suka diejek teman-temannya karena punya predikat sebagai seorang dalang, dirinya tidak pernah malu. Bahkan, Adi bertekad ingin bersekolah sampai tingkat perguruan tinggi untuk memperdalam kemampuannya mendalang.
"Saya enggak pernah malu, apalagi nanti saya mau sekolah di ISI (Institut Seni Indonesia), biar tambah pinter mendalangnya," kata dalang kelahiran 5 Oktober 1995 ini.
Muatan lokal
Setidaknya, melestarikan wayang dan pedalangan memang harus diawali lewat lingkup keluarga pedalang. Pasalnya, bukan tidak ada, tetapi dukungan untuk melestarikan wayang dan pedalangan di kalangan generasi muda selama ini masih kurang kuat.
Sanggar-sanggar seni untuk wayang tidak banyak, bahkan rata-rata kembang kempis hidupnya karena harus membiayai sendiri. Di sekolah, wayang dan dalang pun belum sepenuhnya bisa dijadikan muatan lokal yang bisa diterapkan pada anak didik.
"Saya bangga karena anak saya mau belajar mendalang dan akhirnya memang bisa, tetapi itu bukan karena bendera saya dilanjutkan, lebih dari itu anak saya akhirnya punya prinsip dalam hidupnya, punya kepribadian, dan mau meneruskan tradisi seni budaya leluhurnya," ujar Ki Sigit Toto Carito, ayah kandung dari dalang bocah perempuan bernama Monik Dwi Rahayu, siswa kelas V SD Katolik Yos Sudarso, Kalimantan Timur.
Sigit mengatakan, sudah saatnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memerhatikan dalang dan wayang sebagai muatan lokal yang bisa dijadikan sebagai pengembangan diri siswa di sekolah. Dalang-dalang bocah, yang rata-rata siswa SD dan SMP ini, sebagai penerus seni tradisi pedalangan dan wayang, pun perlu difasilitasi hobinya untuk bisa menularkan kepada teman-temannya di sekolah.
"Terus terang saya prihatin, kemampuan siswa sekarang lebih dikejar pada iptek, hanya otak kanan, tetapi otak kirinya dilupakan. Lihat saja, pelajaran-pelajaran budi pekerti semakin dibelakangi," tegas dalang yang juga guru olah raga di SD Katolik Yos Sudarso, Balikpapan, Kaltim, ini.
Sigit menambahkan, banyak nilai-nilai moral dan budi pekerti yang bisa ditanamkan pada siswa lewat wayang dan dalang. Salah satunya adalah falsafah betik ketitik olo katoro yang ada dalam karakter cerita-cerita wayang.
"Yaitu, bahwa yang baik dan jahat itu akan terlihat jelas. Nah, sekarang itu kan yang baik itu lebih banyak tidak terlihatnya," ujarnya, terbahak.
Sumber: kompas.com